Berawal Dari Cinta

Cinta adalah sebentuk nikmat agung yang Allah SWT karuniakan kepada manusia. Dengan anugrah cinta itulah hidup manusia jadi bermakna.
Dengan anugrah cinta, manusia akan mampu menjalankan perannya sebagai wakil Allah di muka bumi, sebagai pendakwah sekaligus sebagai hamba Allah. Dengan anugrah cinta pula, setiap rintangan untuk bertemu sang kekasih akan dihadapi dengan lapang dada, bahkan senyuman yang mengembang. (QS. Ali Imran 3: 14).
Lalu, apa itu cinta? Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah mengatakan, ”Tidak ada batasan cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri. Membatasinya hanya akan menambah kabur dan kering maknanya”. Maka, batasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri. Walaupun demikian, sesuatu yang sulit dimaknai bukan berarti tidak bisa dimaknai. Di antara makna cinta adalah kecenderungan seluruh hati yang terus-menerus (kepada yang dicintai). Bisa pula kesediaan hati menerima segala keinginan yang dicintainya. Atau kecenderungan hati untuk lebih mengutamakan yang di cintai dari pada diri dan harta sendiri.
Dalam bukunya The Art of Love, Erich Fromm menyebutkan empat unsur yang hadir dalam cinta, yaitu :
  1. Care (Perhatian)
    Cinta harus melahirkan perhatian pada objek yang dicintai. Ketika kita mencintai seseorang, maka kita akan memperhatikan kesulitan yang dihadapinya, akan berusaha meringankan bebannya, dan memberikan perhatian yang tinggi atas setiap gerak geriknya.
    Begitu pula ketika kita mencintai Allah dan Rasul-Nya, kita akan berusaha memberikan perhatian lebih kepada semua hal yang diridhai dan yang dimurkai Allah dengan merujuk perilaku Utusan-Nya, yaitu Rasulullah SAW. Oleh karena itu, seorang hamba beriman sulit untuk melalaikan kewajibanya kepada Allah dan Rasul-Nya.

  2. Responsibility (Tanggung Jawab)
    Cinta harus melahirkan sikap bertanggung jawab terhadap objek yang dicintai. Orang tua yang mencintai anaknya, akan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan material, spiritual dan masa depan anaknya. Suami yang mencintai istrinya akan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangganya. Karyawan yang mencintai perusahaannya, akan bertanggung jawab dan mendedikasikan waktu, tenaga dan pemikirannya demi kemajuan perusahaannya. Sama halnya dengan orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, ia pun akan bertanggung jawab dan mendedikasikan segenap potensi dirinya untuk membahagiakan objek yang dicintainya.
  3. Respect (Hormat)
    Cinta harus melahirkan sikap menerima apa adanya pada objek yang dicintai dan selalu berikhtiar agar tidak mengecewakannya. Dalam konteks hubungan dengan Allah dan Rasul-Nya, rasa hormat kita tercermin dari prinsip sami’ na wa attha’na, mendengar dan taat. Jika itu disukai Allah dan dicontohkan Rasulullah, maka ia akan sekuat tenaga melaksanakannya, karena ia yakin bahwa semua yang Allah perintahkan pasti baik untuk diri dan masa depannya.
  4. Knowledge (Pengetahuan)
    Cinta harus melahirkan minat untuk memahami seluk beluk objek yang dicintai. Ketika kita mencintai seorang yang akan menjadi teman hidup, kita akan berusaha memahami kepribadian, latar belakang, keluarga, minat dan kualitas keimanannya. Ketika kita mencintai Allah dan Rasulullah, maka kita pun akan berusaha mencari tahu siapa Allah dan Rasullullah itu. Kita akan bersemangat membaca, mendengar, menelaah, dan bertanya tentang Dzat Allah dan pribadi Muhammad SAW. Tentu tidak sekedar untuk tahu saja, tapi juga paham sehingga berbuah ketaatan.

Empat komponen cinta inilah yang senantiasa terpatri di hati para sahabat. Efek yang ditimbulkannya begitu dahsyat. Kecintaan kepada Allah dan Rasulullah mampu melahirkan perubahan drastis dalam hidup mereka, dari kegelapan menuju cahaya, dari kebencian menuju kasih sayang, dari kejahilan menuju hidayah, dan dari kemunduran menuju kemajuan. Semoga kita mampu meneladani mereka. Amin.

Posting Komentar

0 Komentar